Sunday, 17 July 2016

Pendidikan Menurut Prof. Dr. Nurcholish Madjid


Pemikiran Pendidikan Menurut Prof. Dr. Nurcholish Madjid


Ada beberapa gagasan dan pemikiran Prof. Dr. Nurcholish madjid dalam bidang kemampuan tinggi untuk pendidikan islam, diantaranya adalah :
Pertama, pembaruan pesantren, gagasan dan pemikiran tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul bilik-bilik pesantren sebuah protet pejalanan, dalam bukunya ini nurchlish madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan agama. Pelajaran-pelajaran yang dapat diberikan di dalam pesantren antara lain adalah :
1.      Mempelajari agama dengan cara yang lebih sungguh-sungguh yaitu dengan menitik beratkanpada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
2.      Melalui pertolongan bahan bacaan atau buku pegangan penggunaan cara ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara luas.
Selanjutnya, Nurcholish madjid agar pesantren tanggap terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitanya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Berdasarkan berbagai analisis di atas, nurcholish akhirnya berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiiki kesadaran tinggi  bahwa ajara islam bersifat menyeluruh. Selain itu, produk pesantren ini diharapkan memiiki kemampuan tinggi untuk melakukan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu.
Kedua, kebangkitan gerakan intelektual di kalangan umat islam, pemikiran nurcholish madjid dalam bidang pendidikan juga terlihat dari upayanya membangkitkan rasa percaya diri pada umat islam. Caranya antara lain dengan menunjukan bahwa umat islam pernah tampil sebagai pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan baik agama maupun umum, serta tampil sebagai adikuasa.
Ketiga, peningkatan pengamalan agama menurut nurcholish madjid, bahwa sekarang yang paling penting untuk diperhatikan adalah masalah bagaimana agar “taat menjalankan agama”. Tidak berhenti dan terbatas hanya pelaksanaan segi-segi formal. Simbolik. Berkaitan dengan masalah tersebut, nurcholish madjid menyarankan agar diusahakan kembali,sedikit demi sedikit, susunan dan hirarki nilai dalam agama sehingga yang primer tetap primer, yang skunder tetap skunder, begitu seterusnya. Kondisi ini diperlukan agar tidak terjadi kekacauan dan pertukaran hirarki nilai. Ini bukan berarti kita harus merombak, mengubah dan menukar ajaran dan nilai agama, karena sepanjang mengenai agama, manusia tidak berhak melakukan satu perubahan apapun yang datangnya dari Tuhan.
Keempat, perpustakaan masjid, menurut nurcholis madjid, kini semakin terasa adanya tuntutan agar masjid-masjid perlu dilengkapi perpustakaan. Dengan simpanan buku-buku dan kitab-kitab yang mampu memperkaya perbendahaaan kaum muslimin dalam hubungan ini. Ia menghubungkan dengan kalimat dalam Alqur’an yang pertama kali diturunkan, yang isinya perintah membaca. Kemampuan membaca yang sangat dianjurkan oleh Muhammad saw, menurut Nurcholish madjid, harus diusahakan tumbuhnya etos membaca yang setinggi-tingginya. Melalui kitab dan buku itulah ilmu diwariskan dan dikembangkan dari generasi ke generasi.
Kelima, pendidikan agama dalam rumah tangga, menurut nurcholish madjid, bahwa pendidikan agama sesungguhnya pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya pada pengertian-pengertian yang konvensional dalam masyarakat. Menurut nurcholish madjid bahwa  pendidikan agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi. Sehubungan dengan ini peran orang tuan dalam mendidik anak melaluui pendidikan agama yang benar adalah sangat penting, pendidikan agama dalam rumah tangga menurut nurcholis madjid tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dalam formal agama. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang notabene dapat diwakilkan kepada orang lain). Peran orang tua adalah peran tingkah laku tulada atau teladan. Dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan yang menyeluruh seperti yang telah diuraikan di atas.
Selanjutnya dengan mengutip pepatah yang mengatakan bahwa bahasa perbuatan adalah lebih  fasih dari bahasa ucapan (lisan al-hal afshah min lisan al maqoal). Nurcholish madjid mengatakan bahwa pendidikan agama menuntut tindakan pecontohan lebih banyak dari pada pengajaran verbal. Karena itu yang penting adalah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.
Keenam, pendidikan akhlak sejalan dengan pentingnya pendidikan agama dalam lingkugan keluarga yang ditekankan pada pengamalan ajaran agama terkait erat dengan etika, norma, dan akhlak. Dalam berbagai kesempatan ia mengingatkan bahaya dengki atau  hasad yang dapat memakan segala kebaikan dan merupakan pangkal kesengsaraan. Ia mengingatkan agar manusia menahan amarah, mengendalikan hawa nafsu, taat karena benar, memperhatikan perkataan orang lain, hormat kepada orang tua, dalam bekerja hendaknya berorientasi pada prestasi, bukan prestise, agar berfikir dan bertindak lebih strategis, fitrah dan akhlak, akhlak dan kemajuan bangsa, hubungan amal sholeh dan kesehatan jiwa, menjauhi kemewahan, mau mengatakan yang benar walaupun terasa sakit, mau berkorban dan mau berdeerma bakti.
Ketujuh, pesan-pesan takqwa seiring dengan komitmennya dengan pendidikan keagamaan yang bertumpu pada penanaman dan pembiasaan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari. Nurcholish madjid banyak mengungkapkan dalam pesan-pesan taqwa. Dengan mengacu pada bagian pertama surat Al-Baqarah, nurcholish madjid mengatakan bahwa sifat-sifat utama kaum betaqwa itu adalah :
1)      Beriman kepada yang gaib
2)      Menegakan sholat
3)      Mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan tuhan kepada mereka
4)      Beriman kepada kitab suci
5)      Beriman kepada al-quran dan menghargai akal manusia, menuntut berfikir dan bekerja keras melakukan sesuatu yang bermanfaat, produktif, inovatif, terbuka, menghargai waktu, berwawasan global dan berpandangan kedepan.
Menurut Nurcholish madjid, dalam aspek kurikulum terlihat bahwa pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya kusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata pelajaran meliputi fiqh (paling utama), aqa’id, nahwu sharf(juga mendapat kedudukan penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat serta rasa Agama (religiusitas) yang merupakan inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung terabaikan. Nurcholish Madjid, membedakan istilah materi pelajaran”agama” dan “keagamaan”. Perkataan “agama” lebih tertuju pada segi formil dan ilmunya saja, sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama (relegiusitas). Menurut Nurcholish Madjid , materi “keagamaan” ini hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh, atau ilmu kalamnya apalagi nahwu-sharfnya serta bahasa arabya. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum.[1]


[1] Yasmadi,Modernisai Pesantren, (Jakarta, Ciputat Press, 2002), hlm: 78-79

No comments:

Post a Comment