Monday, 12 September 2016

Organisasi-Organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama)

Organisasi-Organisasi Islam di Indonesia


1. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan social menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir batin.
 Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut.
1)      Memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam.
2)      Mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1)      Mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK sampai dengan perguruan tinggi).
2)      Mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid
3)      Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ).
Muhammadiyah sebagai gerakan islam modernis sejak awal kelahirannya telah memilih jalan pergerakan di wilayah social-keagamaan yang memusatkan perhatian pada cita-cita pembentukan masyarakat (masyarakat islam atau masyarakat utama) ketimbang bergerak di lapangan politik dengan melibatkan diri dalam kancah perjuangan politik-protaktis (riel politics) yang memperebutkan kekuasaan dalam pemerintahan dan lebih jauh lagi mencita-citakan pembentukan sistem Negara. Dengan orientasi gerakan social-keagamaan itu Muhammadiyah berhasil melakukan transformasi social ke berbagai struktur dan proses kehidupan masyarakat secara langsung, operasional, dan relative dapat diterima oleh banyak kalangan masyarakat. Melalui peranannya ini, di belakang hari Muhammadiyah telah menghadirkan ideology gerakan islam yang bercorak cultural dan bersifat modern yang melakukan perubahan-perubahan social dari kehidupan yang bercorak agraris-pedesaan keindustrial-perkotaan yang waktu itu merupakan fenomena baru dalam gerakan islam pada awal abad ke-20.
Dapat diakui saat ini bahwa persyarikatan Muhammadiyah adalah suatu organisasi social kemasyarakatan islam modern yang terbesar di seluruh dunia islam. Di samping itu juga tidak dapat di sangkal bahwa keberhasilan kiprah amaliah Muhammadiyah di bidang pendidikan dan pelayanan social kepada masyarakat sangat besar, dengan kata lain Muhammadiyah merupakan organisasi yang luar biasa. Dalam usianya yang lebih dari 80 tahun, Muhammadiyah telah memiliki lebih dari 13.000 sekolah dari jenjang pendidikan TK, SD, SLTP sampai ke SMU, juga Madrasah Diniyah dan Madrasah Muallimin/Muallimat serta pondok pesantren. Belum terhitung lebih dari 60 perguruan tinggi dan akademik tersebar di seeluruh nusantara.
Dalam bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, Muhammadiyah telah memiliki lebih dari 400 unit usaha yang berupa rumah sakit umum, poliklinik, BKIA, panti asuhan dan yatim piatu, dan pos santunan social serta lebih dari 3000 mesjid. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa prestasi Muhammadiyah yang gemilang itu dicapai melalui pendekatan terbuka, ramah, dan bersahabat dengan semua pihak, dan menempuh jalan yang dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku serta tidak bersikap tertutup dan ekslusif. Salah satu kunci utama dari keberhasilan Muhammadiyah adalah sikapnya yang steady dan konsisten dengan maksud pendirian persyarikatan.
Muhammadiyah pada masa orde baru itu telah mengikrarkan diri untuk tidak mengulangi kesalahan politik yang sama seperti yang dilakukan pada masa Orde Lama dengan terlibat dalam Masyumi selama lebih dari sepuluh tahun. Melalui Tanwir Ponorogo dan Muktamar ke-38 di Ujung Pandang pada 1971, organisasi ini menegaskan pendirian politiknya bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan bukan merupakan bagian dari partai politik tertentu. Sejak itulah Muhammadiyah dari tingkat pusat hingga ranting, memberikan keleluasaan kepada anggotanya secara individu untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai politik yang ada sepanjang tidak menyimpang dari garis perjuangan Muhammadiyah.

2. Nahdhatul Ulama (NU)
            Pada mulanya NU merupakan organisasi social keagamaan dari kelompok islam tradisionalis. NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Pendirian NU ini sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaharu islam di Indonesia. Pada waktu itu paham pembaharuan masuk ke Indonesia yang di bawa oleh para jama’ah haji yang pulang ke Indonesia. Seruan yang dikumandangkan adalah perlunya kembali kepada Al-qur’an dan hadits nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Masih terbukanya pintu ijtihad dan melarang praktik-praktik yang tidak sesuai dengan islam berupa bid’ah dan khurafat.
            Dengan tumbuhnya paham pembaharuan islam ini, kelompok islam tradisionalis berusaha menjaga paham yang selama ini dilaksanakan dengan membentuk organisasi, yang dinamakan Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama). Organisasi ini didirikan dimaksudkan juga dalam rangka mempertahankan ajaran-ajaran 4 mazhab ( Hambali, Hanafi, Syafi’I, dan Mhaliki ), terutama mazhab Syafi’i. Pendiri NU adalah KH. Hasyim As’ary, dan KH. Wachab Hasbullah.
            NU pada masa pergerakan terus berkembang dan tetap menjadi organisasi social keagamaan dan pendidikan. Sebagai pusat dari pergerakan organisasi ini adalah pesantren-pesantren dengan Kyai sebagai ujung tombaknya. Meskipun bergerak dalam bidang social keagamaan dan pendidikan, NU juga pernah bergabung dalam GAPI dan menyerukan jihad untuk melawan penjajahan.
 Ketika Indonesia merdeka, NU merupakan salah satu pilar partai politik Masyumi. Bersama-sama dengan Muhammadiyah, organisasi Islam pembaharu, NU mendirikanpartaipolitik Masyumi. Partai ini dimaksudkan sebagai satu-satunya partai Islam di Indonesia sebagai alat perjuangan dan aspirasi umat Islam Indonesia. Namun dalam perkembangan kemudian, karena ada salah paham dan pandangan yang berbeda denagan unsure-unsur dalam tubuh Masyumi. Dalam Muktamar yang diselenggarakan di Palembang tahun 1952, NU menyatakan sebagai partai politik yang berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari Masyumi.
Dengan keluarnya NU dari Masyumi maka orang Masyumi yang duduk dalam cabinet dari unsure Nu tidak lagi atas nama partai Masyumi tetapi atas nama partai NU. Dengan demikian karena NU memiliki massa yang banyak, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kekuatan NU menjadi sangat menentukan dalam setiap menyusun cabinet. Oleh karena itu, setiap penyusunan cabinet NU selalu menjadi partai politik yang harus dilibatkan dalam koaliisi pembentukan cabinet. Dengan kata lain, NU merupakan unsur dalam koalisi pembentukan cabinet. Dalam konteks itu maka bagi siapa saja, baik itu kalangan nasionalis (PNI) atau Masyumi harus mengajak NU dalam koalisi membentuk cabinet.
  
3. Hubungan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi “terbesar” di Indonesia. Kata “terbesar”sengaja diberi tanda kutip karena awalan “ter” seharusnya menunjuk pada satu objek, bahkan dua. Keduanya disebut “terbesar” untuk menunjukkan betapa sulitnya menentukan mana yang satu di antara keduanya yang lebih besar. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak bisa di ukur secara matematis.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri bahwa jika NU memiliki puluhan atau bahkan ratusan pesantren maka muhammadiyah memiliki lembaga pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi yang kurang lebih sama jumlahnya. Jika tokoh-tokoh NU memiliki puluhan LSM, Muhammadiyah pun memiliki lembaga-lembaga sosial yang tidak kalah, baik secara kualitas maupun kuantitas, dengan LSM NU. Alhasil, NU dan Muhammadiyah adalah dua aset bangsa yang tak ternilai harganya. Mengingat begitu signifikannya peran kedua organisasi ini, banyak kalangan berpendapat, jika di antara keduanya tidak ada masalah maka selesailah, minimal setengah dari persoalan bangsa ini. 
Sebaliknya, jika keduanya bertikai maka akan runyamlah nasib bangsa ini. Karenanya program mendamaikan dan atau mempertemukan keduanya terasa begitu urgen. Namun, sejauh mana upaya ini mungkin di lakukan akan sangat tergantung pada 2 faktor, pertama menyangkut latar belakang kelahiran kedua organisasi ini yang secara langsung terkait dengan paham keagaman yang diyakini dan diinterpretasikan oleh keduanya. Kedua, watak politik antara keduanya yang juga sedikit banyak dipengaruhi paham keagaman yang diyakini dan diinterpretasikan oleh keduanya.   

No comments:

Post a Comment