Pemikiran Pendidikan Menurut K.H Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur adalah anak dari Wahid Hasyim dan
beliau juga merupakan cucu dari tokoh besar pendiri Nahdhatul Ulama (NU).
Gagasan seorang tokoh biasanya terlihat pada sejumlah pidato dan karya
tulisnya. Tidak seperti dengan tokoh politik lainnya, Gus Dur tampil selain
sebagai seorang politisi juga sebagai seorang akademis. Hal ini terlihat dari
sejumlah karya tulisnya, diantara karya tulisnya adalah sebagai berikut : buku
bunga rampai pesantren, di dalam buku ini terdapat 12 artikel yang secara umum
bertemakan pesantren. Di dalam buku ini Gus Dur menunjukan sikap optimisnya
bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk
melakukan pemberdayakan masyarakat. namun demikian, perlu dicatat bahwa
pesantren sekarang dilihat dari segi ruang lingkup program dan organisasi kelembagaannya
sudah tidak lagi sama sepenuhnya dengan model pesantren tradisional salafi.
Dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia, kita melihat paling
kurang terdapat lima macam tipologi pesantren, yaitu: Pertama, lembaga pendidikan pesantren yang bersifat salafi, yaitu
lembaga pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan agama dengan bersandar pada
kitab-kitab klasik yang menggunakan sistem holaqoh, sorongan dan bandongan.
Kedua,
lembaga pendidikan yang selain memiliki ciri-ciri pesantren salafi, juga
mengadopsi sistem madrasah, walaupun muatan kurikulumnya sepenuhnya agama.Ketiga, lembaga pendidikan pesantren
yang selain memiliki sistem madrasah juga sudah melengkapi dengan sistem
sekolah umum yang memungkinkan santrinya dapat melanjutkan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi.
Keempat,
sistem
pendidikan pesantren yang sudah melengkapi dirinya dengan keunggulan dalam
penguasaan bahasa asing dan teknologi modern.
Kelima,
sistem
pendidikan pesantren yang santrinya diarahkan untuk menjadi tenaga kerja yang
profesional yang di butuhkan oleh masyarakat.
Munculnya
dinamika pesantren yang demkian itu, tidak lepas dari gagasan pembaharuan dan
dinamisasi pesantren yang dilontarkan Gus Dur. Melalui gagasan dan pembaharuan
dan dinamisasi pesantren yang dimiliki itu, Gus Dur menginginkan terjsdinya
proses penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada dan
meakukan pergamtian nilai-nilai lama yang dianggap tidak relevan lagi dengan nilai-nilai
baru yang lebih relevan dan dianggap lebih baik dan lebih sempurna. Inilah yang
memunculkan istilah yang berbunyi : al-muhafadzah
ala al-qodim al-salih wa al-akhzhu bi al-jadid al-ashla (memelihara dan
melestarikan nilai-nilali lama yang masih relevan dan mengambil nillai-nilai
baru yang lebih relevan lagi).
Selanjutnya, Gus Dur berpendapat
bahwa dalam melakukan modernisasit tersebut, pesantren harus mampu melihat
gejala sosial yang tumbuh di masyarakat, sehinggan keberadaan pesantren
tersebut dapat berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat, upaya ke arah
ini menurut Gus Dur dapat dilakukan dengan dua cara, pertama : dengan cara mengarahkan semua perubahan yang dilakukan
pada tujuan mengintregasi pesantren sebagai sistem pendidikan ke dalam pola
umum pendidikan nasional yang membangun manusian yang kreatif.
Kedua,
dengan
cara meletakan fungsi kemasyarakatan dalam kerangka menumbuhkan Lembaga
Govermental Organization (IGC) menjadi lembaga Non Govermental Organization
(NGO) yang kuat dan matang di pedesaan sehingga mampu menjadi rekan yang
sesungguhnya bagi pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan nasional.
Lebih
lanjut Gus Dur berbicara tentang keuntungan pesantren jika menyelenggarakan
pendidikan umum. Keuntungan tersebut antara lain :
Pertama,
bahwa
mayoritas masyarakat pesantren yang tidak belajar di madrasah akan dapat
diserap oleh sekolah umum. kedua, mereka
yang selama ini berada dipersimpangan jalan antara belajar di sekoolah umum
dangan belajar di pesantren, dan sekaligus memasuki sekolah umum di lingkungan
pendidikan pesantren.
Sejalan dengan
perubahan visi misi dan tujuan pendidikan pesantren sebagaimana tersebut di
atas, Gus Dur juga berbicara tentang kurikulum pendidikan pesantren. Menurutnya,
kurikilum yang berkembang di dunia pesantren selama ini dapat di ringkas
menjadi tiga hal, yaitu :
·
Pertama, kurikulum yang bertujuan
mencetak ulama dikemudian hari.
·
Kedua, struktur dasar kurikulumnya
adalah pengajaran pengetahuan agama islam dalam segenap tingkatan dan pemberian
bimbingan kepada santri secara pribadi yang dilakukan oleh guru atau kyai.
·
Ketiga, secara keseluruhan kurikulum
yang ada di pesantren bersifat fleksibel, yaitu dalam setiap kesempatan para
santri memiliki kesempatan untuk menyusun kurikulumnya sendiri, baik secara
keseluruhan maupun secara sebagian saja.
Hal
tesbut sejalan dengan kenyataan yang menunjukan bahwa kurikulum sistem
pendidikan pesantren yang diwakili oleh kitab kuning lebih menekankan pada bidang
kajian fiqh, teologi, tasawuf dan bahasa. Khususnya yang berkenaan dengan fiqh,
biasanya hanya dibatasi pada fiqh yang berasal daari empat imam mazhab yaitu,
Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i. Selain itu, fiqh pada umumnya diartikan
sebagai kumpulan hukum amaliah yang disyari’atkan islam dengan penekanan yang
mendalam dan berlebihan. Dipilihnya pemikiran fiqh mazhab Syafi’i ini dari segi
amaliah dapat memantapkan hati seseorang, tapi dari segi kreatifitas terasa
merugikan. Dengan menganut hanya satu mazhab saja dapat membelenggu kreatifitas
berfikir dan membuat sempit pemahaman atas elastisitas hukum islam.
Selanjutnya,
Gus Dur menginginkan agar kurikulum pesantren memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan lapangan kerja, seiring dengan perubahan arah kurikulum di atas, Gus
Dur juga menekankan pentingnya menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan
ilmu umum, dengan catatan penguasaan ilmu agama harus diberi porsi yang cukup
besar dalam kurikulum pesantren tersebut. Namun demikian, besar peran yang
dimainkan pleh pengelolan yang berada ditangan kyai maka untuk membawa berbagai
kemajuan sebagai mana tersebut di atas perlu diikuti dengan upaya mengubah
kepemimpinan kyai yaitu dengan mengubah dari gaya dan pola kepemimpinan kyai
yang mengekang kebebasan kepada gaya dan pola kepemimpinan kyai yang
demokratis, terbuka, dan berpandangan jauh ke depan. Sehubungan dengan ini Gus
Dur lebih lanjut mengatakan bahwa kepemimpinan karismatiik pada tahap-tahap
pertama amat diperlukan, tetapi pada tahap yang selanjutnya banyak menimbulkan
kerugian.
Dalam
keadaan tarik-menarik antara mempertahankan nilai-nilai kepemimpinan
tradisional di pesantren dengan upaya terjadinya modernisasi maka menurut Gus
Dur yang diperlukan adalah melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
Ø Petama,
pendidikan tradisional yang dalam pelaksanaannya masih memelihara nilai dan
pandangan hidup yang ditimbulkan di pesantren masih tetap dipertahankan dan
dikembangkan,
Ø Kedua,
kebersamaan dengan itu, usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan dan
pengajaran yang ada di pesantren harus terus di pertahankan, terutama yang
berkaitan dengan metode pengajaran dan penetapan materi pengajaran.
Menurut
Abdurrahman Wahid, tujuan pendidikan pesantren bukan hanya terletak pada upaya
tafaqquh fi-aldin, yaitu menghasilkan manusia yang mendalami ilmu agama
setingkat dengan ulama, malainkan terintegrasinya pengetahuan agama dan non
agama, sehingga lulusan yang dihasilkan pesantren adalah suatu kepribadian yang
utuh dan bulat dalam dirinya, yakni pribadi yang di dalamnya tergabung
unsur-unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan secara seimbang.
Gagasan
Gus Dur berikutnya dapat dijumpai dalam karyanya yang berjudul “tuhan tak perlu
dibela”. Dalam buku yang menjelakan berbagai fenomena sikap keagamaan dan kekerasan
politik ini, Gus Dur menjelaskan bahwa kekerasan politiik merupakan akibat
perilaku kaum fundamentalis yang berakar pada fanatisme yang sempit.
Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa selain sebagai tokoh
politik, negarawan, budayawan, kyai, Gus Dur juga sebagai seorang akademisi
yang memberika perhatian yang cukup besar terhadap maju mundurnya pendidikan
islam.
No comments:
Post a Comment